
Alumni Lemhannas 2012
Pendiri Indonesian Taxpayers Association
Expert and Senior Advisor to Member of Parliament, Republic of Indonesia
Indonesia diprediksi akan mendapat bonus demografi di tahun 2020-2030 dimana penduduk dengan umur produktif sangat besar sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum banyak. Hal ini sejalan dengan laporan PBB, yang menyatakan bahwa dibanding dengan negara Asia lainnya, angka ketergantungan penduduk Indonesia akan terus turun sampai 2020. Bonus yang akan hadir ini harus kita kelola dengan baik sehingga bisa menjadi kekuatan bangsa. JIka salah kelola bonus ini akan berbalik menjadi bencana bagi bangsa ini.
Diprediksi jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada 2020-2030 akan mencapai 70%, sedangkan sisanya 30% adalah penduduk tidak produktif (dibawah 15 tahun dan diatas 65 tahun) Dilihat dari jumlah penduduk usia produktif akan mencapai sekitar 180 juta sementara nonproduktif hanya 60 juta.
Kita pun saat ini mengenal Istilah Generasi X, Y dan Z digunakan untuk merujuk kepada kelompok generasi dalam kumpulan umur tertentu. Don Tapscott dalam bukunya Grown Up Digital membahagikan demografi penduduk kepada beberapa kelompok berikut:
- Pre Baby Boom (lahir pada 1945 dan sebelumnya)
- The Baby Boom(lahir antara 1946 – 1964)
- The Baby Bust(lahir antara 1965 – 1976) – Generasi X
- The Echo of the Baby Boom (lahir antara 1977 – 1997) – Generasi Y
- Generation Net (lahir antara 1998 hingga kini) – Generasi Z
- Generation Alpha(lahir pada 2010) – Generasi A
Generasi-generasi diatas berjuang di jamannya dan bisa kita jadikan bahan renungan untuk persiapan menyongsong bonus demografi bangsa ini. Adalah mereka yang terlahir antara tahun 1946 s/d 1964 atau pasca PD II: di US dikenal dengan sebutan “baby boomers”, “boomies” di Canada dan “the bulge” di UK, selain Bill Gates, Paul Allen, Bruce Springsteen, Barack Obama & Steve Jobs, ternyata Osama bin Laden juga termasuk dalam era generasi tersebut, belum ada lagi sebutan yang demikian populer dan bisa diterima hampir semua pihak di dunia untuk generasi sebelum atau setelahnya, termasuk untuk generasi kita.
Konon selain karena geliat pertumbuhan ekonomi negara sekutu pasca PD II yang demikian masif; karena setiap resesi selalu disertai kontraksi pertumbuhan ekonomi, di awal usia mereka generasi tersebut juga telah mendapat doktrin berupa suntikan pemahaman tentang ‘demikian berartinya hidup’ dari para veteran PD II tentu saja nama yang disebut terakhir tidak termasuk. Dengan latar belakang bahwa para serdadu sekutu banyak yang bahkan baru berusia 18 tahun, direkrut secara besar-besaran untuk mendapat pelatihan di tangsi-tangsi militer selama hanya 6 bulan saja untuk kemudian harus dikirim bertempur di front Eropa dan Pasifik. Menghadapi pasukan negara poros; Jerman, Italia dan Jepang yang lebih terlatih tentu saja membuat sekutu banyak kehilangan serdadu mudanya. Para veteran ini dengan mata kepala sendiri menyaksikan kematian demi kematian tragis rekan mereka di medan perang tanpa sempat sekalipun serdadu-serdadu yang gugur tersebut menarik picu senapan ke arah musuh, banyak dari mereka gugur karena diterjang peluru musuh saat baru turun dari Landing Ship Tank di pantai Omaha, gugur saat penerjunan tanpa sempat menyentuh tanah dan berperang karena terjangan peluru artileri darat-udara musuh dan karena parasut yang tidak mengembang atau gugur karena kedinginan dalam parit-parit pertempuran di hutan-hutan Eropa, dan banyak lagi cerita ‘demikian berartinya hidup’ yang para veteran telah sampaikan kepada generasi ini saat mereka kembali ke kampung halamannya, ke lingkungannya, tentu dengan doktrin ‘hidup hanya sekali, berbuatlah yang terbaik’. PD II itu telah menelan sekitar 60 juta jiwa, 40 juta diantaranya adalah penduduk sipil dan 20 juta serdadu; paling berdarah sepanjang sejarah, serta ternyata telah melahirkan generasi muda cemerlang di pihak sekutu dengan gelimang kesuksesan.
Dari pantai Omaha mari kita ke Indonesia tepatnya ke Pantura: Pantai Utara Jawa, profesi nelayan tentu lebih berbahaya dari petani; istri nelayan setiap malam harus berusaha keras untuk bisa tidur lelap karena sang suami menyabung nyawa di laut lepas guna mencukupi kebutuhan hidup mereka, bisa jadi tiap malam mereka lebih banyak berdo’a tentang pengharapan keselamatan, konon juga dahulu para anak nelayan lebih banyak ke Surau saat maghrib tiba karena ingin lebih dekat dengan YMK saat kematian di laut lepas membayangi ayah mereka.
Sebuah perjuangan yang membawa resiko kematian dapat mempersatukan sebuah keluarga, sebuah komunitas dan bahkan sebuah bangsa, dengan rasa persatuan yang tulus kita akan lebih mudah menentukan dan menyepakati “musuh bersama” kita. Di Indonesia ini sebetulnya kita tidak perlu susah payah mereka-reka (baca: merekayasa) musuh bersama kita, karena jelas nyata di depan mata kita saksikan korupsi merajalela, kesewenang-wenangan, kemiskinan, tersendatnya akses mendapat pelayanan memadai untuk pendidikan dan kesehatan. Tapi rupanya kita belum juga bisa sepakat bahwa yang disebut diatas adalah musuh bersama, mungkin bisa jadi karena elite kita memang bahagia dengan Indonesia semacam ini; mereka telah dan sedang turut menikmati.
Dengan fakta bahwa Amerika sejak PD II s/d hari ini secara rutin terus mengirim pasukan ke berbagai medan pertempuran di setiap sudut dunia, selain motif ekonomi dan untuk memuaskan birahi polisi dunianya, bisa jadi mereka juga sedang memelihara rasa kebersamaan sebagai bangsa dan sedang terus menciptakan musuh bersama mereka untuk memperkuat rasa persatuan mereka dan mempersiapkan generasi-generasi gemilang berikutnya.
Kita semua tentu berharap bahwa negara; kebijakan dan apparatus negara ini bisa mengawal generasi Z dan generasi A Indonesia untuk siap menjadi kekuatan bangsa ini.