VIHARA Dewi Welas Asih menjadi salah satu ikon Kota Cirebon yang paling dikenal. Vihara ini banyak didatangi banyak orang dari berbagai daerah saat Imlek dan Cap Go Meh yang sangat meriah setiap tahunnya.
Selain menjadi tempat beribadah, Vihara Dewi Welas Asih juga menyimpan nilai sejarah dan toleransi yang begitu kental. Salah satu wujud toleransi di Vihara Dewi Welas Asih adalah pilar utama bangunan vihara berasal dari pilar Masjid Sang Cipta Rasa. Pilar tersebut bisa dilihat di bangunan utama yang menaungi patung Dewi Kwan Im.
“Pilar utama bangunan vihara ini berasal dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Seperti nama masjid tersebut yang maknanya, Cipta yang berarti menciptakan sesuatu. Rasa, merasakan sesuatu. Dari arti tersebut Masjid Agung Sang Cipta Rasa juga turut membantu berdirinya vihara ini,” tutur Biokong vihara Dewi Welas Asih, Angkim kepada cirebonbagus.id.
Angkim mengatakan, Vhara Dewi Welas Asih dibangun sekitar 500 tahun lalu setelah Puteri Ong Tien dengan dua pengawalnya mendarat di Tanah Jawa pada tahun 1595. Dua pengawal tersebut adalah Sam Poo Kong yang mendarat di Semarang dan Tan Sam Tjaj Kong di Eretan Cirebon yang kemudian diberi gelar Aria Wiracula.
“Walau mereka Tionghoa muslim namun tidak melupakan leluhur mereka jadi dibangunlah klenteng ini. Selain itu pasukan mereka saat itu tak hanya beragama Islam tapi juga Budha,” tuturnya.
Lanjut Angkim, saat membangun Klenteng Tiao Kak Sie, sebelum berubah nama menjadi Vihara Dewi Welas Asih. Para tukang beristirahat di Klenteng Talang yang hanya berjarak beberapa meter saja.
“Di Klenteng Talang mereka sholat dan beristirahat. Jadi memang nilai toleransinya kental sekali di Vihara ini. Selain itu vihara ini juga menyimpan bedug yang sama dengan umat muslim untuk memanggil umat,” paparnya.
Penuh makna
Vihara dengan luas sekitar 1.000 meter tersebut didesain dengan konsep Tiongkok Selatan yang terkenal indah dan penuh makna. Bagian depan terdapat Thien yang berarti Tuhan dimana selalu terdapat tiga buah dupa, lilin, buah, dan bunga yang memiliki maknanya masing-masing.
“Orang Tionghoa selalu sembahyang dengan dupa yang berjumlah tiga melambangkan perkataan, perbuatan, dan pikiran yang harus baik dan harum. Sedangkan lilin dimaknai kita harus seperti lilin yang menerangi makhluk lain walau harus meleleh. Buah melambangkan kebaikan, sedangkan bunga melambangkan kehidupan yang lahir, tumbuh, kemudian layu,” jelasnya.
Angkim menjelaskan, dalam Vihara Dewi Welas Asih terdapat altar para dewa termasuk Dewi Kwan Im dan tempat peribadatan agama Buddha yang dikenal dengan Cetya Dharma Rakhita. Serta para dewa menurut aliran Taoisme. “Vihara ini memang campuran antara adab dan agama Budha serta Taoisme yang menjadi kepercayaan Tiongkok,” jelasnya.
Selain penuh dengan nuansa Tiongkok, dinding vihara juga dipenuhi dengan lukisan yang menarik seperti penggambaran pendaratan Putri Ong Tien di Pulau Jawa, penggambaran 8 Dewa, dan kisah Kera Sakti Sun Go Kong.
Angkim mengungkapkan kepada cirebonbagus.id, saat ini perayaan Imlek dan Cap Go Meh akan digelar secara sederhana dan tidak semeriah tahun sebelumnya untuk mengatasi penyebaran Covid-19.
“Risikonya sangat besar jika harus digelar. Jadi kami adakan sembahyang saja dengan cara bergilir untuk menerapkan protokoler kesehatan,” katanya.
Angkim berharap, pandemi Corona segera berakhir agar umat bisa beribadah seperti biasa. “Tak hanya umat Budha, umat lain juga banyak yang berkunjung ke vihara ini untuk berwisata dan mengenal sejarahnya. Semoga saja pandemi segera berakhir dan vihara ini kembali ramai seperti biasanya,” pungkasnya. (Nika/Kontributor CIBA)