Vania Rosalie Augusta
Mahasiswi PKN STAN Jakarta, Asal Bandung Jawa Barat
2020 adalah tahun yang memiliki kejadian dinamis di dalamnya, bagaimana tidak? Pada bulan Januari pun Indonesia sudah disambut dengan berbagai macam peristiwa seperti banjir dan fenomena alam lainnya. Bulan Maret pun tak mau kalah, ia memberikan kejutan bagi seluruh warga Indonesia, kejutan tersebut ialah berupa kedatangan tamu. Yap, tamu yang berkunjung ini ialah Covid-19 yang menghebohkan seluruh pulau dari ujung ke ujung, membuat angan dan asa yang sudah tersusun menjadi terkurung dalam relung.
Coivd-19 di Indonesia yang diumumkan pada tanggal 2 Maret 2020 oleh Presiden Joko Widodo ini membuncah bagai air yang tertumpah deras kepada seluruh aspek atau sektor yang menjadi pondasi berdiriinya Indonesia. Sektor yang terpengaruh dimulai dari sektor kesehatan hingga sektor perekonomian.
Dalam sektor perekonomian, sudah jelas yang akan tertampar ialah pertumbuhan ekonomi, Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam skenario terburuk akibat virus yang satu ini bisa mencapai minus 0.4 persen, sudah barang tentu jika perekonomian anjlok, sektor perbankan akan ikut terpojok, baik itu bank konvensional maupun bank Syariah. Lantas bagaimana bank Syariah dalam “menyambut tamu” yang berkunjung ini? Apakah untung ataukah justru malah buntung?
Seperti kita ketahui, bank Syariah merupakan bank yang menjalankan operasinya dengan bergantung pada sistem syariat islam dengan payung hukum berupa fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan berpedoman pada prinsip islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Pada dasarnya, kegiatan yang dilakukan bank Syariah tidak jauh berbeda dengan bank konvensional, hanya saja dilakukan modifikasi dan menghilangkan unsur-unsur yang dianggap tidak sesuai syariat islam dari bank konvensional.
Perbedaan
Perbedaan mendasar dari bank Syariah dan bank konvensional terletak pada sistem pembagian keuntungannya.
Pembagian keuntungan pada bank konvensional dilakukan berdasarkan prinsip konvensional yang menerapkan sistem bunga di dalamnya.
Sedangkan bank Syariah memiliki sistem bagi hasil sebagai system pembagian keuntungannya. Bagi hasil diterapkan sebagai perwujudan bahwa bank Syariah menjadikan nasabah sebagai mitra kerja, sehingga keuntungan yang didapat akan dilakukan bagi hasil antara bank dengan nasabah.
Bank Syariah memiliki produk bank seperti simpanan atau titipan yang terdiri dari simpanan wadi’ah yang menjaga simpanan tersebut sebagai titipan sehingga tidak diperkenankan untuk dimanfaatkan oleh bank yang dititipi, selain itu ada juga simpanan mudharabah yaitu simpanan yang dapat dikelola oleh bank yang dititipi.
Selain itu ada juga produk seperti gadai emas, pembiayaan dengan prinsip ijarah, jual beli, dan lain sebagainya yang dinilai berbeda atau bisa disebut unik dibandingkan dengan bank konvensional.
Produk-produk bank yang berbeda ini mampu membuat bank Syariah lebih “untung” dibanding bank konvesional. Mengapa ini bisa terjadi? Pertama, transaksi yang dilakukan untuk semua produk menggunakan prinsip bagi hasil, di mana prinsip ini tidak tergantung dari suku bunga bank dan nilai tukar rupiah. Dalam prinsip bagi hasil ini, bank menempatkan dirinya sebagai mitra kerja bagi nasabah, sehingga sebagai mitra kerja, untung rugi dari hasil kelolaan bank akan ditanggung bersama.
Lalu bagaimana korelasinya dengan Covid-19? Dalam keadaan seperti ini, tentu kegiatan yang dilakukan oleh bank dengan memanfaatkan uang simpanan dari nasabah akan terdampak.
Bank akan mengalami penurunan dari hasil kelolaannya, namun karena bank dan nasabah merupakan mitra kerja, maka kerugian yang dialami oleh bank akan ditanggung bersama dengan nasabah, sehingga bagi hasil yang harus dibayar bank akan ikut menurun atau dengan kata lain, bank Syariah tidak perlu mengeluarkan “biaya” yang tinggi, hal ini membuat bank Syariah terlihat lebih untung dari bank konvensional, di mana bank konvensional dengan sistem bunganya yang ditentukan oleh Bank Indoensia mengharuskan untuk terus memberikan bunga kepada nasabah tanpa melihat kondisi bank meskipun sedang dilanda kerugian.
Kedua, adanya produk simpanan wadi’ah yang menyimpan uang nasabah dan murni menjaganya tanpa mengelola uang simpanan tersebut, sehingga tidak ada bagi hasil antara bank dengan nasabah, melainkan bonus yang diberikan oleh pihak bank secara sukarela, dengan begitu, dalam masa pandemi ini, saat bank mengalami penurunan, bank tidak perlu mengeluarkan “biaya” berupa bagi hasil kepada nasabah atas akad wadiah ini, lagi-lagi inilah yang menjadikan bank Syariah lebih untung dibandingkan dengan bank konvensional dengan penerapan bunga tadi.
Ketiga, prinsip tanpa bunga yang diberlakukan oleh bank Syariah memberikan keuntungan saat terjadi keadaan kahar ini. Pasalnya, dengan keadaan yang serba tidak menentu ini akan mengakibatkan perubahan harga pasar secara global yang dipengaruhi oleh bunga dan kurs, yang ujungnya akan mempengaruhi posisi neraca. Namun dengan bagi hasil, neraca tidak terpengaruh oleh perubahan harga pasar akibat bunga tersebut.
Keempat, produk bank Syariah yang tak kalah memberikan keuntungan di tengah wabah seperti ini ialah gadai emas. Gadai emas merupakan produk pembiayaan atas dasar jaminan berupa emas sebagai salah satu alternatif memperoleh uang tunai dengan cepat.
Saat kondisi sulit seperti ini , gadai emas memberi harapan bagi bank Syariah sekaligus sebagai pelumas terhadap aliran pembiayaan kepada nasabah. Gadai emas menjadi pilihan tepat bagi masyarakat di saat kondisi mendesak seperti ini. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan gadai emas yang memakai akad ijarah dan akad rahn ini memberikan kenyamanan dalam pelayanan kepada nasabah, pelayanan yang ramah dengan tidak memberikan perlakuan seperti rentenir.
Selain itu, gadai emas yang hadir untuk memberikan kemudahan bagi nasabah yang membutuhkan pendanaan untuk kebutuhannya seperti pengobatan dan hal tak terduga lainnya dalam masa krisis seperti ini juga memberikan keleluasaan kepada nasabah apabila nasabah ingin menebus jaminannya sebelum jatuh tempo, nasabah tidak akan dikenakan penalty. Hal ini membuat masyarakat semakin tertarik untuk memakai produk gadai emas.
Lalu untungnya bagi bank Syariah darimana? Semakin banyak masyarakat yang menggunakan produk gadai emas, semakin meningkat pula omset bank tersebut. Hal ini dibuktikan dari produk gadai emas bank Mandiri Syariah Malang yang diminati masyarakat. Omset bank tumbuh 11.26% dari Rp. 741,1 M pada Februari 2020 menjadi Rp. 824,6 M pada Maret 2020.
Kelima, produk mobile banking Syariah yang meningkat akibat imbauan #dirumahaja membuat nasabah melakukan transaksi lebih mudah dengan mobile banking. Hal ini dibuktikan dari BNI Syariah yang mengalami peningkatan dari 4 juta transaksi menjadi 9,8 juta transaksi pada kuartal I 2020.
Maka menurut penulis, bank Syariah terlihat lebih untung karena beban yang ditanggung lebih ringan dari bank konvensional, meskipun memang pada dasarnya bank konvensional maupun Syariah adalah korban dari ganasnya penyebaran virus ini. Namun, produk dan konsep unik dari bank syariah inilah yang mendorong penguatan di tengah “penjara” perekonomian 2020. ***