Pemandangan sejuk tercipta ketika kaki Kami melangkah memasuki suatu perkampungan di salah satu sudut Kota Cirebon. Berjejer pohon besar nan rindang berada di kanan kiri menambah suasana damai memasuki wilayah tersebut. Padahal, wilayah tersebut terdapat di Perumnas Kota Cirebon yang dikenal sangat padat dan berasal wilayah pendatang (urban).
Tatap mata Kami tertuju pada bangunan tempat ibadah umat Hindu yang cukup megah bernama Pura Agung Jati Permana. Tak, jauh dari Pura Agung Jati Permana ternyata terdapat Vihara Bodhi Sejati yang juga dikelilingi alam cukup asri. Sayup-sayup terdengar suara azan zuhur yang menandakan terdapat sebuah masjid berada di lokasi tersebut.
Suara azan tersebut berasal dari Masjid As-Salam yang masih berada berdampingan dengan Pura Agung Jati Permana. Tepat di depan lokasi Pura, terdapat Gereja Wreda yang juga banyak digunakan umat Kristen untuk beribadah.
Adalah RW 08 Merbabu Asih, Kelurahan Larangan, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon yang dikenal wilayah Program Kampung Iklim (Proklim). Kampung Merbabu Asih selama ini dikenal memiliki program lingkungan hingga tingkat nasional.
Ternyata kampung Merbabu Asih juga memiliki keunikan dengan adanya empat tempat ibadah yang berada berdampingan. Keempat tempat ibadah tersebut yakni Masjid As-Salam, Gereja Wreda, Pura Agung Jati Permana dan Vihara Bodhi Sejati, menunjukkan masyarakat sekitar memiliki rasa toleransi sangat tinggi.
Benar saja, ketika kami bertemu dengan tokoh masyarakat sekaligus Ketua RW 08 Merbabu Asih, H. Agus Supriono jika di wilayahnya terdapat rasa toleransi cukup tinggi. Sejak lama rasa toleransi ini tumbuh berdampingan selama berpuluh tahun lamanya.
“Mewujudkan rasa toleransi dengan berbagai karakter masyarakat tentu tidak mudah. Namun ada semangat yang sama ingin mewujudkan hidup damai. Kami kemudian sepakat untuk mengusung hidup damai dengan kampung toleransi dan alam yang bersahabat,” ungkap Agus ditemui di rumahnya, Senin (15/2/2022).
Agus menambahkan, rasa toleransi antar warga tidak tumbuh begitu saja. Wilayah Merbabu Asih memiliki karakter masyarakat dengan berbagai sifat dan kultur berbeda karena warganya berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Tentu dengan kondisi tersebut diperlukan kesepahaman bersama untuk mewujudkan kampung damai.
Sejak lama, dia bersama beberapa tokoh pemuda dan masyarakat lain menumbuhkan rasa toleransi terhadap seluruh warga. Melalui berbagai pertemuan tingkat blok hingga pembinaan tingkat RW dilakukan.
“Melalui rasa toleransi yang cukup kuat ini kami wujudkan rasa menghormati antar warga dengan berbagai pemeluknya. Saya menjamin terdapat jiwa toleransi cukup kuat di masyarakat Merbabu Asih hingga 300 persen kalau diukur,” kata Agus untuk meyakinkan jika warga Merbabu Asih sangat mendukung toleransi.
Smart NKRI
Warga Merbabu Asih, lanjut Agus, bukan tidak pernah diuji dengan rasa toleransi. Beberapa kali ujian datang tapi justru banyak terjadi dari luar warga Merbabu Asih. Mereka mempertanyakan keberadaan tempat ibadah yang berada sangat dekat sehingga saling mengganggu ketika beribadah.
Padahal, faktanya jauh berbeda ketika masyarakat Merbabu Asih sangat menghormati hak beribadah tetangganya. Mereka pun tidak segan menyampaikan ucapan selamat ketika ada tetangganya berbeda agama merayakan hari besar keyakinannya.
“Beberapa kali terdapat spanduk berbau provokasi tapi itu terjadi sekitar beberapa tahun lalu. Kemudian Kami sepakat mencopot spanduk tersebut tanpa memperpanjang persoalan. Karena kami menyadari jika aksi tersebut bukan dari warga Merbabu Asih,” kata Agus.
Ada gerakan yang digelorakan dan sudah tertanam dalam jiwa masyarakat Merbabu Asih yaitu smart NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Gerakan ini meyakini untuk menumbuhkan saling toleransi antar warga dengan menghormati dari agama, suku dan ras berbeda tapi memiliki kedudukan yang sama. Rasa berkedudukan sama untuk menjaga keutuhan NKRI dalam bingkai saling menghargai untuk mencapai kehidupan yang damai dan sejahtera.
“Semangat smart NKRI inilah yang menjaga kami dengan berbagai perbedaan. Sudah lebih dari 10 tahun Kami menikmati hidup damai dalam bingkai kebersamaan,” tandasnya.
Agus menambahkan, smart NKRI sudah digulirkan sejak 10 tahun terakhir. Walaupun sebenarnya secara tidak langsung dilakukan oleh warga Merbabu Asih sejak lama.
Smart NKRI menggambarkan warga yang semangat dan enerjik untuk menjaga keutuhan Bhineka Tunggal Ika. Mereka lebih mengutamakan kebersamaan dan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau golongan saja.
Keberadaan empat tempat ibadah dalam satu lokasi tentu menunjukkan jika masyarakat Cirebon juga dapat menerima arti menghormati hak agama lain.
Beberapa tahun lalu terdapat aksi penolakan dengan pendirian peribadatan agama lain. Peristiwa itu sempat membuat masyarakat Cirebon memanas tapi kemudian dapat diredam. Adanya kampung toleransi ternyata menjadi bukti jika umat beragama dapat hidup berdampingan.
Beberapa organisasi keagaman secara aktif membina dan memupuk toleransi antar warga. Organisasi keagamaan tersebut antara lain Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) As-Salam, Majelis Taklim Khaerunnisa (umat muslim), Remaja Hindu Jati Permana (umat Hindu), Komunitas Bodhi Sejati (umat Budha) dan Yayasan Panti Wreda Kasih (umat Nasrani).
Dalam beberapa kegiatan mereka sering melakukan kerja bersama sehingga saling mendukung.
Dalam mendukung program kampung toleransi dan Proklim, perempuan di Merbabu Asih membentuk berbagai kegiatan salah satunya Kelompok Wanita Tani.
Selain itu, dibentuk Koperasi Secerah Pagi, kelompok Arisan PKK dan RW. Kelompok Wanita Tani ini ikut menyukseskan program tanaman di RW Merbabu Asih sehingga terlihat asri.
“Kami bersama seluruh ibu rumah tangga dan remaja dari berbagai kalangan dan agama bersatu membantuk wilayah yang nyaman. Program yang sekarang dikembangkan yaitu aquaponik di seluruh halaman rumah. Secara ekonomi membantu juga menjaga lingkungan,” kata Ketua Wanita Tani, Dedeh dan Ny. Komang.
Salah satu tokoh Muslim, Chaidir Sudrajat mengatakan, umat Islam di Merbabu Asih dapat berdampingan dengan warga lain yang berbeda agama. Warga Merbabu Asih ternyata bukan hanya berbeda agama tapi dengan perbedaan suku. Tercatat ada suku Jawa, Sunda, Tionghoa, Arab, Bali, Batak dan lainnya.
“Alhamdulillah walaupun beragam kami tetap damai. Kami tidak pernah memandang tetangga kita berasal dari agama atau suku apa. Tapi kami memiliki pandangan ingin hidup damai untuk mencapai kesejahteraan yang hakiki,” ungkap Chaidir.
Toleransi yang terjadi cukup hangat karena antar pemeluk agama saling menghormati. Hal ini dapat ditunjukkan ketika orang Hindu di Pura Agung sedang mengadakan acara kemudian waktu tiba salat mereka menghentikan aktivitasnya.
Pun ketika umat Hindu, Kristen maupun Budha ada acara umat muslim ikut membantu dalam kegiatan terutama menjaga keamanan wilayah.
“Perbedaan ada tetapi persamaan kami lebih kuat. Kami akan saling membela bila ada pihak yang menyudutkan tanpa alasan. Warga Merbabu Asih merasa sama,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan Pemangku Adat Agama Hindu, Komang Adi Putra mengatakan, pihaknya merasa beruntung dapat tinggal bersama warga Merbabu Asih yang memiliki rasa toleransi sangat tinggi. Warga Merbabu Asih tidak pernah membedakan kehadiran umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari.
“Nikmat dan senang sekali kami berada di lingkungan Merbabu Asih merasa saling menghormati. Kami saling membantu tanpa membedakan mereka berasal dari suku atau agama yang lain. Ini sudah terwujud sejak lama dan semoga tetap hidup damai,” kata Komang.
Tokoh warga Nasrani, Yongki Sugiono mengaku, pihaknya mendapat keamanan dan kedamaian selama melakukan ibadah dan kegiatan di Merbabu Asih. Warga Merbabu Asih dikenal sangat toleran.
“Kami selalu merawat kebhinekaan dengan baik sehingga rasa toleran selalu terjaga. Sangat sedikit wilayah di Indonesia yang masyarakatnya memiliki rasa toleran sangat tinggi. Kami menjaga kebhinekaan ini,” tandasnya.
Kedamaian juga dirasakan umat Budha di wilayah Merbabu Asih. Tokoh umat Budha, Andreas Chan mengaku beruntung dia dapat tinggal di wilayah tersebut.
“Semua merasa sama dan sederajat. Tentu Kami merasa bahagia berada di kampung Merbabu Asih. Kami berada dalam satu keluarga besar,” tandasnya.
Sementara Wakil Walikota Cirebon, Hj. Eti Herawati mengakui keunikan dan sikap toleransi Merbabu Asih sesuai falsafah para pendiri Cirebon. Sejak lama warga Cirebon dikenal cinta damai dan hidup rukun dengan sesama.
“Kami tentu mendorong wilayah lain juga memiliki sikap yang sama. Kehidupan di Merbabu Asih sangat damai, nyaman dan kompak dalam berbagai kegiatan tanpa mengenal suku serta agama,” ungkap Eti.
Eti menambahkan, dirinya sering melakukan kunjungan ke wilayah Merbabu Asih karena memiliki keindahan dan asri. Keberadaan empat tempat ibadah secara berdampingan menjadi bukti masyarakat di Merbabu Asih memiliki rasa toleransi sangat tinggi.
“Banyak masyarakat yang datang untuk berkunjung dan tertarik untuk melihat dari dekat dengan kondisi nyata Kampung Toleransi Merbabu Asih. Tentu hal ini juga menjadi ajang peningkatan pariwisata terutama peningkatan masyarakat sekitar. Kami berharap kondisi damai, nyaman dan kompak akan terus terjaga antar warganya,” tandasnya. (Arif Rohidin/CIBA)
***
Tulisan ini adalah bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.