CIREBON — Penanganan dugaan penyimpangan penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun anggaran 2023 di Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Cirebon kini menjadi sorotan publik. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengungkap adanya potensi kerugian negara mencapai Rp358,8 juta lebih akibat pembayaran pekerjaan yang tidak sesuai kondisi sebenarnya.
Temuan ini termuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Tahun 2023, yang mengindikasikan adanya pembayaran tidak sesuai kondisi senyatanya serta kekurangan volume pekerjaan pada 13 paket proyek belanja modal di dua instansi, yakni Dinas Pendidikan dan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kota Cirebon.
“BPK menemukan adanya kekurangan volume atas 13 paket pekerjaan dengan total potensi kerugian Rp358.811.289,73. Dari jumlah itu, sebagian besar bersumber dari dana DAK Fisik Bidang Pendidikan,” ungkap Supendi, pelapor kasus ini, Kamis (13/11).
Menurut Supendi, BPK melakukan uji petik terhadap 10 paket swakelola di Dinas Pendidikan dan tiga paket di Dinas PUTR. Ketiga paket di PUTR bahkan menggunakan metode pengadaan langsung dengan seluruh pendanaan bersumber dari APBD.
“Hasil pemeriksaan menunjukkan kekurangan volume pekerjaan yang signifikan. Itu artinya ada indikasi kuat penyimpangan dalam pelaksanaan proyek,” tegasnya.
Supendi juga mengaku telah dimintai keterangan oleh pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon, bersama sejumlah pejabat Dinas Pendidikan yang diduga terkait dalam persoalan tersebut. Namun, hingga kini, publik belum mengetahui arah penanganan kasus ini secara jelas.
“Semua pihak sudah diperiksa. Sekarang kami tinggal menunggu keseriusan dan langkah tegas dari Kejari Cirebon,” ujar Supendi.
Kasus dugaan penyimpangan DAK di Kota Cirebon ini, sambung Supendi, berpotensi menjadi ujian kredibilitas dan ketegasan Kejaksaan Negeri dalam menegakkan akuntabilitas pengelolaan anggaran publik. DAK Fisik Bidang Pendidikan sejatinya diperuntukkan untuk peningkatan sarana-prasarana pendidikan di sekolah, bukan menjadi ajang penyimpangan anggaran.
Jika benar terjadi kekurangan volume dan pembayaran tidak sesuai fakta lapangan, maka potensi pelanggaran hukum bukan hanya administratif, tetapi bisa mengarah pada tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No.20 tahun 2001 atas perubahan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Publik kini menanti apakah Kejari Cirebon akan menindaklanjuti temuan BPK dengan proses penyidikan yang transparan, atau justru berhenti pada tahap klarifikasi. “Ketegasan lembaga hukum dalam kasus ini akan menjadi cerminan sejauh mana komitmen pemberantasan korupsi di tingkat daerah masih terjaga,” pungkas Supendi.**
Artikel ini tayang juga di ArahPantura.id


