CIREBON, (CB).-
Kualitas produksi para petambak garam di Kabupaten Cirebon sudah mulai baik. Bahkan, NaCl garam yang menggunakan sistem pengolahan integrasi mampu 94 persen dan sudah layak masuk industri.
Namun, seiring kesadaran masyarakat yang sudah tinggi untuk menghasilkan kualitas garam yang baik, tidak diimbangi dengan harga yang bagus. Sebab, harga garam yang kualitas satu saja, hanya dihargai Rp 300-350 perkilogramnya.
Hal itu diakui Kepala Bidang (Kabid) Pemberdayaan pada Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislakan) Kabupaten Cirebon, Yanto.
Menurut dia, pihaknya tengah menerapkan program pengolahan garam integrasi di Desa Muara, Kecamatan Suranenggala.
Ia menjelaskan, sistem integrasi sendiri adalah penggabungan dari beberapa tambak garam milik warga di desa setempat. Di 2019 Kabupaten Cirebon mendapatkan program integrasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI dengan luas 41 hektare dan diterapkan di Desa Muara.
“Dengan sistem ini, semua meja garam menggunakan geomembran. Jadi 10 persen dari luas lahan itu, berupa meja garam atau petakan yang bisa menghasilkan garam,” kata Yanto saat ditemui di kantornya, Selasa (10/9/2019).
Ia mengaku, dengan menggunakan sistem pengolahan garam integrasi ini, panen perdana sudah dilakukan beberapa hari lalu. Hasilnya, kata dia sangat luar biasa. Sebab, satu petak atau meja garam ukuran panjang 43 meter dan lebar 4,3 meter, mampu menghasilkan 2 ton garam dengan NaCl mencapai 94 persen.
“Jadi hasilnya sudah bisa masuk industri. Itu hanya empat hari masa pengolahannya, jika 7-10 hari baru dipanen, maka akan lebih tinggi lagi kadar NaCl-nya,” ungkap Yanto.
Jika berbicara keumumannya, lanjut dia, untuk mendapatkan kadar NaCl 94 persen, maka pengolahannya antara 7-10 hari baru dipanen. “Tapi dengan sistem integrasi ini, baru empat hari saja sudah 94 persen NaCl-nya. Ke depan kita harapkan jangan empat hari dipanen, tapi 7-10 baru dilakukan pemanenan,” katanya.
Ia menjelaskan, ada lebih dari 40 petambak garam yang bergabung dalam sistem pengolahan garam integrasi ini. Dikelola secara bersama-sama dan hasilnya pun akan dibagi berdasarkan kesepakatan awal. Artinya, jika lahan milik petambak garam luas maka akan lebih besar bagian hasilnya, begitu sebaliknya.
Namun aku dia, dengan kesadaran petambak garam yang sudah lebih baik untuk mengolah dan menghasilkan garam yang bagus, tidak disertai dengan harga yang diharapkan para petambak garam. Sementara ini, garam hasil sistem integrasi ini dihargai kisaran Rp 300-350 perkilogramnya.
“Kasihan para petambak garam, masyarakat animonya bagus, produksinya bagus, tapi harga kurang maksimal. Sebab untuk garam itu belum ada standardisasi harganya, mungkin senasional,” katanya.
Ia mengaku, agar harga garam bisa lebih baik, pihaknya bersama dinas terkait tengah merencanakan untuk membentuk badan usaha milik daerah (BUMD) dan akan bekerja sama dengan PT Garam maupun PT-PT besar lainnya.
“Yang terjadi, kesadaran masyarakat sudah tumbuh untuk membuat kualitas garam yang bagus tapi harga tidak mundukung,” katanya. (CB-05)