PEDATI menjadi kendaraan tradisional yang sudah terlupakan. Padahal zaman dulu, pedati menjadi kendaraan mewah yang hanya dimiliki kalangan menengah ke atas. Namun kini pedati sudah kian langka paling hanya di daerah pedesaan dan tidak banyak karena sudah tergantikan oleh kendaraan yang lebih canggih.
Anda bisa menemukan pedati terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Pedati ini sudah berusia ratusan tahun dan menjadi situs bersejarah. Namanya Pedati Gede yang disimpan di kawasan padat penduduk tepatnya di RT 05 RW 05 Kelurahan Pekalangan Kecamatan Pekalangan Kota Cirebon.
Pedati ini dikenal terbesar karena panjangnya mencapai 15 meter, lebarnya sekitar 2 meter, dan tingginya 3,5 meter. “Sayangnya pedati ini pernah terbakar di tahun 1930. Rodanya yang awalnya 12 buah sekarang hanya 8 karena hangus terkena kobaran api. Sedangkan panjangnya sekarang 10 meter saja,” papar juru kunci Pedati Gede Pekalangan, Taryi, kepada kontributor cirebonbagus.id Jumat (8/1/2021).
Taryi menerangkan, pedati ini dibuat oleh Pangeran Cakrabuana yang kemudian diberi gelar Ki Gede Pekalangan pada tahun 1371.
Diungkapkannya, pedati ini sangat berjasa untuk penyebaran agama Islam di Tanah Jawa. “Pedati ini dibuat dari kayu jati tua dan ditarik dengan seekor kerbau bule. Fungsinya untuk mengangkut material masjid Sang Cipta Rasa dan menyebarkan Islam di sepanjang pantura, Jakarta sampai Surabaya, dari dusun ke dusun,” terangnya.
Lanjut dia, konon katanya pedati ini sebenarnya bisa terbang saat digunakan untuk membantu membangun Masjid Sang Cipta Rasa. “Orang dulu kan sakti-sakti, pedati ini bisa terbang untuk ngangkut material Masjid Sang Cipta Rasa supaya lebih mudah. Makanya masjid besar itu bisa dibangun dalam semalam,” sambungnya.
Taryi menuturkan, setelah tahun 1700, pedati ini tak lagi digunakan dan terparkir begitu saja di kampung Pekalangan. “Sampai tahun 1700, pedati ini masih digunakan Kanjeng Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama Islam. Tapi setelah itu, pedati ini diistirahatkan di sini,” tuturnya kepada kontributor cirebonbagus.id.
Pedati Gede awalnya hanya terpajang begitu saja tanpa perawatan bahkan sampai terbakar. “Dulunya pedati ini terbuka seperti kandang kerbau. Namun 1970 dipagar setengah oleh Dinas Pariwisata. Tapi kondisinya masih belum sebaik sekarang. Kadang kalau sudah disapu masih bau kotoran ayam dan kotoran kucing,” papar Taryi.
Tahun 1995, pedati gede dibuatkan ruangan khusus oleh Dinas Pariwisata agar menarik untuk dikunjungi. Bahkan ada dana khusus dari Dinas Pariwisata untuk perawatan situs sebesar Rp 1 juta setiap bulannya.
“Saya minta renovasi supaya yang berkunjung enak datangnya. Sekarang sudah tertata, ada bangunan khusus untuk pedati ini. Potongan roda yang terbakar dibungkus kain kafan, tempat minum kerbau bule juga masih ada. Sekarang juga ada pagar pembatas jadinya lebih apik dilihat. Serasa di museum,” ujarnya.
Jangan dilupakan
Setiap malam satu suro (1 muharam), selalu ada tradisi pagelaran wayang kulit di Pedati Gede. Bahkan selalu rutin digelar tahlil pada malam Jumat Kliwon.
“Sayangnya setahun ini tidak digelar wayang kulit karena sedang pandemi. Jadi tahlil rutin saja supaya warga dekat dengan Sang Pencipta dan tidak melupakan situs bersejarah ini,” jelasnya.
Taryi mengungkapkan kepada kontributor cirebonbagus.id, banyak yang berkunjung ke Pedati Gede untuk mendapatkan karomah dan barokah kanjeng sunan. Bahkan tak sedikit pejabat dalam dan luar kota yang berkunjung.
“Banyak calon pejabat yang akhirnya bisa menduduki posisi seperti sekarang. Minta memang ke gusti Allah. Tapi alhamdulillah berdoanya kebetulan di sini. Kebanyakan sih jadi. Kebanyakan kalau jadi, mereka gelar bancakan di sini seikhlasnya atau seniat mereka buat nazar. Tapi entahlah, kalau nazarnya tidak dilakukan, pasti ada saja gangguan gaib atau semacamnya,” tuturnya lagi.
Tapi sejak pandemi, Taryi mengakui, kunjungan merosot yang awalnya hanya 200 orang per bulan menjadi hanya sekitar 50 orang bahkan kurang.
“Pas corona kunjungan sepi, tapi ada saja yang datang kok walau tidak sebanyak sebelumnya. Saya berharap situs ini jangan dilupakan sebab punya nilai sejarah untuk penyebaran agama Islam,” pungkasnya. (Nika/Kontributor CIBA)