CIREBON, (cirebonbagus.id).- Musim kemarau yang panjang, membuat hasil produksi garam petani di Kabupaten Cirebon melimpah. Namun, garam para petani ini tidak laku karena tidak ada yang membeli.
Bahkan, garam hasil produksi mereka tak ada yang membeli, sehingga menumpuk di gudang dan sepanjang jalan dekat lahan tambak garam mereka.
Kondisi tersebut sudah beberapa bulan terakhir. Petani garam pun hanya pasrah dan tetap menjalankan aktivitas mereka memproduksi garam, hanya saja hasil produksinya mayoritas tidak dijual, hanya ditumpuk dan ditutupi terpal. Sebab, selain harganya anjlok, tengkulak pun hanya satu-dua orang saja yang masih membeli garam mereka.
Salah seorang petani garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Tohari (45 tahun) mengaku, sudah hampir dua bulan ini hasil produksi garam para petani di desanya tidak ada yang membeli. Ia pun tidak tahu persis kenapa bisa demikian.
“Sudah hampir dua bulanan tidak ada penimbang (tengkulak, Red) yang membeli garam. Ya garam hanya ditumpuk, kita timbun saja, barangkali nanti nemu harga mahal,” kata Tohari, Jumat (6/12/2019).
Ia menyebutkan, terakhir harga garam dia yang dijual tengkulak perkilogramnya hanya Rp 100. Itu pun hanya satu-dua tengkulak saja yang membeli, tidak seperti pada awal-awal panen ketika harganya masih Rp 500-700 perkilogramnya.
Bahkan, lanjut pria yang akrab disapa Toto ini, harga Rp 100 perkilogram itu masih kotor. Artinya, belum dicabut untuk upah kuli panggul jika garam yang akan dijual ke tengkulak itu tidak dibawa sendiri oleh pemiliknya. Jika dibawa sama kuli panggul, tentu pemilik garam tidak mendapatkan apa-apa.
“Sebab, bayar kuli panggul satu karung Rp 4 ribu dan yang satu karung itu paling dapatnya cuma Rp 5 ribu, jadi besaran kuli panggul dapatnya kalau tidak kita bawa sendiri garamnya ke tempat tengkulak. Solusinya saya simpan saja garamnya di gudang. Untuk makan sehari-harinya ya cari pendapatan lain, kadang hutang,” ujar Toto. (CIBA-05)