CIREBON, (cirebonbagus.id).- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Cirebon, rutin sebulan sekali menggelar Diskusi Kepemiluan (Dilan) di sekretariat Bawaslu setempat dan disiarkan secara langsung di media sosial.
Ketua Bawaslu Kabupaten Cirebon, Abdul Khoir menyampaikan, diskusi kepemiluan atau Dilan Talkshow Ekstra tersebut mengambil tema “Daftar Pemilih dan Hak Konstitusional Warga Negara”. Kegiatan diskusi pun kata dia, dilakukan rutin setip bulan di minggu ketiga hari Rabu.
“Ini kegiatan rutin kita di hari Rabu minggu ketiga setiap bulannya. Untuk diskusikan seputar kepemiluan. Dan kegiatan ini ditayangkan langsung di media sosial kita,” kata Khoir, Rabu (30/9/2020).
Komisioner Bawaslu Jawa Barat, H Wasikin Marzuki yang menjadi narasumber dalam diskusi tersebut menyampaikan, dari Pemilu ke Pemilu setiap pleno Data Pemilih Tetap (DPT) selalu hasilnya terkoreksi oleh Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), sampai diperbaiki terus-terusan. Tetapi, kata dia, enggak pernah selesai, karena memang persoalan DPT ini terlalu banyak.
Masalah pertama, kata H Wasikin, dari regulasi yang menyebutkan, orang yang mempunyai hak pilih adalah 17 tahun atau sudah menikah. Orang yang atau sudah menikah itu, artinya yang belum 17 tahun tetapi dia sudah punya hak pilih, karena dia sudah menikah.
“Tapi orang yang bersangkutan tidak tahu bahwa dia punya hak pilih. Di Australia setiap orang yang 17 tahun, pas dia ulang tahun dari pemerintah menelpon. Memberitahukan bahwa mulai hari ini dia mempunyai hak pilih, punya hak konstitusi, begitu juga yang nikah di bawah 17 tahun,” kata H Wasikin.
Namun kata dia, di Indonesia tidak pernah ada yang semacam itu, masyarakat yang sudah mempunyai hak pilih tidak pernah diberitahu oleh pemerintah. Bahkan, kata dia, dalam diskusi tersebut, ada banyak yang mengeluhkan orang yang sudah lama meninggak dunia, tetap masuk dalam DPT.
Karena, lanjut dia, di Indonesia masih tradisi lisan, belum tertulis. Artinya, kata H Wasikin, ketika ada orang meninggal di kampung, mereka hanya lapor ke petugas masjid minta untuk diumumkan. Tetapi tidak melakukan pelaporan kepada kelurahan, untuk kemudian kelurahan melaporkannya ke kecamatan hingga melapor ke KPU.
“Mestinya kan harus lapor juga ke KPU minta dicoret dalam DPT. Dan itu tidak pernah ada. Jadi akhirnya KPU ya ketika mengumumkan DPT kepada publik ada sebagian yang jadi bahan lucu-lucuan, sudah meninggal ternyata namanya masih ada,” ungkap H Wasikin.
Kendala yang kedua terkait DPT ini, kata dia, penduduk di Jawa Barat ini mobile, selalu bergerak. Hari ini dia tercatat di DPT tempat lahirnya, besok dia nikah dengan orang kampung sebelah dan pindah domisili tercatat lagi, kemudian nikah atau kerja lagi di tempat lain juga tercatat lagi.
Kendala yang ketiga yakni, kata H Wasikin, para TNI-Polri yang pensiun, mestinya ditelpon juga oleh pemerintah atau KPU. Bahwa yang bersangkutan telah memasuki purna tugas dan menginformasikah bahwa mulai hari ini dia mendapatkan hak pilih sebagai pemilih pemula.
“Jadi pemilih pemula itu ada yang berasal dari anak SMA yang berusia 17 tahun, ada juga pemilih pemula dari TNI-Polri yang hari ini itu pensiun,” katanya.
Dengan kondisi semacam itu, solusinya, pertama harus ada niatan baik dari semua pihak, khususnya KPU yang ada kaitannya dengan DPT. Coklitnya yang benar, datanya terbuka, waktunya yang cukup, hingga anggarannya juga harus cukup. Sehingga petugas melakukan coklitnya benar-benar, enggak coklit tembak.
“Jadi semua kepentingan harusnya mengikuti data, bukan data mengikuti kepentingan. Sekarang kan banyak, karena kepentingan untuk mengajukan anggaran data mengikuti kepentingan tersebut,” katanya. (CIBA-05)