Aisyah Basandid
Mahasiswa PKN STAN Jakarta, Asal Kuningan Jawa Barat
SEJAK pengumuman pertama kasus positif virus corona di Indonesia, sektor perekonomian mulai merasakan dampaknya. Kebijakan pemerintah melakukan pembatasan kegiatan sosial,
ekonomi, hingga kebijakan work from home membawa perubahan pada sektor perdagangan di mana masyarakat takut untuk mendatangi pusat perbelanjaan, sehingga pendapatan para pedagang mengalami penurunan drastis. Oleh karenanya ini akan mempengaruhi cicilan dan kredit yang seharusnya mereka lunasi.
Pandemi Covid-19 memberikan potensi peningkatan risiko kredit pada jalur fundamental sektor riil, terutama sektor UMKM dalam membayar kewajibannya kepada perbankan dan industri keuangan non-bank. Peningkatan risiko kredit
perbankan akibat penurunan kinerja dan kapasitas debitur dalam memenuhi kewajiban pembayaran kredit atau pembiayaan berpotensi mengganggu kinerja perbankan dan stabilitas
sistem keuangan yang mana akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Pandemi dapat berpotensi pada peningkatan Non Performing Loan (NPL), permasalahan likuiditas, dan tekanan permodalan. Otoritas Jasa Keuangan mencatat hingga April 2020, Non Performing Loan (NPL) gross telah 2,89%, mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan
dengan Desember 2019 sebesar 2,53%. Otoritas Jasa Keuangan berusaha merespon ini melalui kebijakan bersifat antisipatif (Forward Looking Policy) yang menopang fundamental sektor riil
dan menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga terjadi balancing dimana sektor riil tidak terganggu terlalu dalam dan stabilitas keuangan tetap sehat.
Kebijakan tersebut salah satunya
dengan mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit yang memiliki beberapa skema dalam pelaksanaannya di antaranya adalah penurunan suku bunga, keringanan tarif bunga pinjaman,
perpanjangan jangka waktu kredit dan perpanjangan masa tenggang.
Dikeluarkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 ini diarahkan untuk memberikan ruang bagi debitur yang memang memiliki kinerja yang bagus sebelum terjadinya pandemi Covid-19, namun karena adanya pandemi ini debitur tersebut mengalami
kesulitan dalam melakukan pelunasan terhadap hutang hutangnya. Kebijakan ini diarahkan untuk menjadi kebijakan yang bersifat countercyclical.
Melawan arus
Kebijakan countercyclical merupakan
kebijakan yang melawan arus siklus bisnis. Hal ini berarti pada saat resesi pemerintah menerapkan kebijakan ekspansif berupa pelonggaran fiskal dan moneter. Apabila perekonomian sedang mengalami stagnansi atau bahkan resesi, kebijakan makroekonomi
dilakukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan menerapkan kebijakan fiskal dan moneter ekspansif, yang mana tujuan kebijakan ini adalah untuk terciptanya stabilitas ekonomi.
Kebijakan restrukturisasi memberikan ruang bernafas bagi para debitur yang terdesak dalam hal cashflow. Penentuan mekanisme relaksasi kredit yang sepenuhnya diserahkan kepada pihak
perbankan dan di mana penetapannya sesuai dengan hasil identifikasi bank terhadap kinerja keuangan debitur serta kapasitas pembayaran debitur yang terdampak Covid-19.
Dalam memberikan kebijakan relaksasi kredit bank diharapkan mampu bertanggung jawab dan hati-hati
dalam pelaksanaannya, karena kebijakan relaksasi kredit ini terdapat risiko terjadinya moral hazard. Kebijakan relaksasi kredit ini dapat menjadi celah bagi pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab, seperti dalam hal pemberian stimulus kepada nasabah yang sebelum terjadi pandemi memang sudah bermasalah dan menjadikan stimulus ini sebagai jalan untuk
memberikan status lancar kepadanya sehingga memberikan dampak buruk terhadap perbankan dan perekonomian nasional.
Free rider problem dikhawatirkan dapat terjadi sehingga salah sasaran, seperti pihak yang seharusnya tidak mendapat relaksasi dan masih memiliki kemampuan untuk membayar karena ia memiliki hubungan istimewa dengan bank mendapat keringanan yang seharusnya tidak dinikmati.
Di sisi lain masyarakat menganggap kredit bagi pelaku usaha maupun individu terdampak Covid-19 hanya bersifat mandatory dan tidak mempunyai kekuatan eksekusi. Kalangan usaha
menilai aturan relaksasi kredit masih ambigu bagi perbankan maupun debitur.
Keluarnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang stimulus perekonomian
dampak Covid-19, aturan relaksasi kredit tidak secara spesifik menentukan bentuk relaksasi karena diserahkan kepada perbankan maupun lembaga keuangan untuk menilai kemampuan debitur. Aturan yang tidak spresifik ini dapat menimbulkan ketidakpastian yang dapat menjadipotensi memicu terjadinya kegaduhan baik pada Lembaga Keuangan maupun masyarakat.
Kenyataan di lapangan masih terdapat distorsi dari implementasi kebijakan ini. Masih banyak masyarakat yang mengaku kesulitan dalam pengajuan keringanan kredit, terjadi ketimpangan antar bank dimana ada bank yang mudah dalam melayani pengajuan keringan kredit, adapula yang sulit dalam hal persyaratan pengajuan kredit.
Diperlukan regulasi
Dari sini diperlukan regulasi yang menjadi problem solving dalam mengatasi masalah persyaratan yang rumit ini, diperlukannya penyeragaman dan kejelasan petunjuk teknis di semua bank dalam hal persyaratan. Namun
dalam melakukan penetapan debitur mana yang berhak untuk mendapatkan ini menjadi kewenangan bank, karena bank yang sangat tau bagaimana kondisi debiturnya apakah merupakan kreditur yang memiliki track record yang baik atau tidak. Bank diharapkan dapat proaktif membantu debiturnya dengan menawarkan skema restrukturisasi yang tepat, baik dari sisi jangka waktu, besaran cicilan ataupun relaksasi bunga.
Selain itu OJK perlu melakukan edukasi terkait kebijakan keringanan kredit, karena di lapangan informasi mengenai kebijakan ini masih simpang siur. Banyak dari masyarakat yang menafsirkan bahwa keringanan kredit ini berlaku untuk semua debitur. Maka dari itu sosialisasi dianggap penting untuk menghindari salah persepsi dalam masyarakat. Kebanyakan dari
masyarakat bingung mengenai pesyaratan terdampak Covid-19 yang menjadi parameter pemberian relaksasi kredit.
Pernyataan tersebut menimbulkan kesalahpahaman dalam masyarakat yang mengira relaksasi kredit ini otomatis diberikan dan berdampak pada telatnya pembayaran pinjaman.
Yang masyarakat perlu ketahui terkait kebijakan relaksasi kredit antara lain
1. Untuk meminta keringanan kredit, debitur harus mengajukan sendiri karena keringanan kredit tidak dilakukan secara otomatis.
2. Pengajuan merupakan pekerjaan informal dengan penghasilan harian yang usahanya terdampak Covid-19.
3. Debitur yang tidak terdampak dan mampu untuk membayar, tetap melakukan pembayaran.
4. Sebelum memberikan keringanan, bank akan melakukan asesmen terhadap kondisi debitur yang terdampak.
Jika implementasi relaksasi kredit atau penundaan cicilan ini diberlakukan untuk semua debitur, maka dampak yang dipikul perbankan akan sangat besar dan berakibat kepada naiknya rasio Non Performing Loan (NPL). Ketika NPL kian melambung maka akan mengganggu stabilitas perbankan yang mana perekonomian nasional pun akan ikut terganggu, karena di posisi ini bank tetap harus membayar bunga kepada para penabung, namun ketika relaksasi kredit diberikan kepada semua debitur bank tidak bisa mendapatkan pendapatan dari
debitur.
Oleh karena itu, kita memerlukan intervensi pemerintah yang memberikan win winsolution baik bagi masyarakat, perbankan maupupun pemerintah itu sendiri. ***